Jumat, 04 Januari 2013

PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI DI PERGURUAN TINGGI SEBAGAI SALAH SATU USAHA PREVENTIF PEMBERANTASAN KORUPSI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Korupsi, suatu hal yang sedang merajalela di Indonesia dan hingga kini belum bisa diberantas secara tuntas. Apabila melihat sejarah korupsi di Indonesia, bahkan hal ini sudah terjadi sejak zama pra kemerdekaan. Menurut Puspito & Tim Penyusun (2011: 30-34), korupsi pada zaman pra kemerdekaan di Indonesia pertama terjadi sejak masa pemerintahaan kerajaan, hal tersebut ditandai dengan kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram. Kemudian korupsi berlanjut pada masa kolonial Belanda dengan datangnya VOC di Indonesia pada tahun 1755. Namun, tidak berhenti disitu saja, pada zaman pasca kemerdekaan tindak pidana korupsi terus berlanjut di negeri ini, baik pada masa orde lama, orde baru, reformasi, dan hingga sekarang.
Maraknya korupsi di Indonesia bukan lagi disebut membudaya, tapi sudah menjadi suatu seni, yaitu seni berkorupsi. Meraup uang negara merupakan hal yang mudah saja dilakukan oleh para koruptor, tinggal bagaimana cara mereka untuk mengemas hasil korupsi tersebut agar tidak tercium oleh KPK. Bahkan dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu life style atau gaya hidup (Achmad, 2012). Lebih lanjut lagi Hikmawan (2007) menyebutkan bahwa, “berdasarkan hasil survei tahun 2004, Political And Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia menduduki skor 9,25 di atas India (8,90), Vietnam (8,67), Filipina (8,33), dan Thailand (7,33). Artinya, Indonesia masih menjadi negara terkorup di Asia”.
Beberapa pernyataan di atas menimbulkan satu pertanyaan besar, mengapa korupsi menjadi kasus nomor wahid yang tidak dapat diberantas di Indonesia? Menurut Sinaga (2003), jawabannya adalah ketidakberdayaan hukum di negara ini dalam memberantas korupsi. Hal tersebut telah menjadi fakta dengan adanya kasus korupsi kelas kakap yang mendapat perhatian luas tetap menggantung atau diselesaikan secara kontroversial. Sebut saja pengumuman Kejaksaan Agung atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap dugaan korupsi Prajogo Pangestu tanggal 21 Agustus 2003, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, atau mengambangnya penyelesaian kasus Buloggate yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung. Ketidakberdayaan hukum akibat minimnya komitmen para elite politik menjadi dua faktor penyebab yang saling berkaitan dari ketidakpastian pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hukum adalah satu-satunya alat negara untuk menindak para koruptor demi rasa keadilan dan kesinambungan pembangunan negeri ini. Namun, hukum menjadi tidak efektif karena beberapa kendala sosiologis. Adapun kendala sosiologis tersebut seperti keterpasungan pemerintahan baru dalam warisan birokrasi lama yang masih korup, orientasi tindakan anti-korupsi yang kurang preventif ke depan yang lebih untuk memuaskan hati atau membalas dendam ke masa lalu dan lawan-lawan politik, kurangnya keteladanan tokoh elite politik puncak untuk terbuka diperiksa atau diteliti asal-usul kekayaannya, serta lemahnya kerja sama di kalangan pemimpin yang menyatakan diri sebagai reformis di dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, menjadi amat jelas bila cita-cita memberantas korupsi tidak lagi dapat diletakkan hanya di pundak para elite pemimpin Indonesia. Demikian juga hukum positif dan lembaga penegak hukum formal tidak dapat dikatakan menjadi satu-satunya wadah untuk mengadili koruptor.
Dari keadaan yang terurai di atas, kini kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi salah satu alternatif pemecahan lingkaran setan korupsi. Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam banyak hal telah terbukti mencegah dan mereduksi berbagai epidemi sosial, seperti masalah kriminalitas. Bila seluruh lapisan masyarakat sepakat bahwa korupsi juga merupakan penyakit sosial yang baik langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan masyarakat luas, amat masuk akal bila kesadaran masyarakat luas dimobilisir untuk memerangi korupsi. Ada banyak bentuk untuk mentransformasikan partisipasi dan kesadaran masyarakat ini ke dalam bentuk-bentuk konkret pemberantasan korupsi, salah satunya adalah memberikan bekal Pendidikan Antikorupsi kepada masyarakat khususnya penerus generasi bangsa, salah satunya yaitu mahasiswa sebagai ujung tombak pewaris negeri ini, yang nantinya akan menggantikan posisi para pejabat negara dan memimpin pemerintahan.
Pemberian Pendidikan Antikorupsi kepada masyarakat, khususnya mahasiswa tersebut merupakan salah satu usaha preventif memberantas korupsi yang diharapkan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Partisipasi masyarakat dalam usaha preventif ini dapat dijadikan sebagai suatu usaha prioritas mengingat ketidakberdayaan hukum di Indonesia dalam memberantas korupsi. Selan itu, United Nations Against Corruption (UNCAC) mengemukakan kelebihan usaha preventif (pencegahan) dibandingkan usaha represif (penanganan) dalam memberantas korupsi, dua di antaranya adalah dampak korupsi yang sangat luas tidak dapat ditanggulangi melalui pendekatan represif semata dan di dalam sistem peradilan yang masih rentan atas korupsi, tindakan represif tidak akan berfungsi optimal (Kejaksaan Republik Indonesia, 2009).
Pernyataan mengenai usaha preventif di atas juga didukung oleh Barda Nawawi Arief, seorang pengamat korupsi, dalam testimoninya yang menyebutkan bahwa (dikutip dalam Nagara, 2012),
Strategi dasar penanggulangan korupsi bukan pada penanggulangan korupsi itu sendiri melainkan pada penanggulangan ‘kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi’. Penanggulangan korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya merupakan ‘penanggulangan simptomatik’; sedangkan penangggulangan kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi merupakan penanggulangan kausatif.
Oleh karena uraian hal-hal di ataslah, penulis menuangkan pemikirannya mengenai pemberantasan korupsi dalam makalah dengan memilih judul Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi Sebagai Salah Satu Usaha Preventif Pemberantasan Korupsi.
1.2  Rumusan Masalah
Mengacu dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Apakah definisi dan bentuk-bentuk dari korupsi itu sendiri?
b.      Apa saja faktor-faktor penyebab korupsi?
c.       Mengapa perlu memberikan Pendidikan Antikorupsi kepada mahasiswa?
d.      Bagaimana model Pendidikan Antikorupsi yang diberikan di Perguruan Tinggi?


1.3  Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui definisi dan bentuk-bentuk dari korupsi.
b.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab korupsi.
c.       Untuk mengetahui alasan pemberian Pendidikan Antikorupsi kepada mahasiswa.
d.      Untuk mengetahui model Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi.
Teknik penulisan makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010).


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Bentuk-bentuk Korupsi
Menurut Puspito & Tim Penyusun (2011: 23-24), kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio”. Secara harafiah, arti kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Di Malaysia korupsi disebut dengan “resuah” yang berasal dari bahasa Arab “risywah”, kata tersebut memiliki arti suap menyuap yang identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT. Mencari suap, menyuap dan menerima suap adalah haram, begitu juga dengan mediator antara penyuap dan yang disuap.
Selanjutnya, terdapat beberapa pengertian lain di Indonesia yang berkaitan dengan korupsi, yaitu:
a.       Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
b.      Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
c.       Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian, Puspito & Tim Penyusun (2011: 23-24) menyimpulkan bahwa arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat, dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Selain itu, Pratiwi (2011) menyebutkan dua pengertian korupsi dari Transparency International dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Di samping itu, berdasarkan Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999 Pasal 3, hukuman tindak pidana korupsi dijatuhkan kepada “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang busuk, tidak jujur, dan amoral. Korupsi adalah suatu perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kelompok dengan cara yang menyimpang dan illegal, dimana perilaku tersebut merugikan negara atau pemerintah atau rakyat atau sebuah instansi. Korupsi dipandang haram dalam agama Islam, dan korupsi juga merupakan hal yang melanggar hukum, dimana para pelaku korupsi harus dikenakan hukuman pidana sesuai peraturan dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999.
Terdapat 6 (Enam) bentuk-bentuk korupsi menurut KPK (2006), keenam bentuk korupsi tersebut yaitu:
a.       Perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara.
b.      Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
c.       Penggelapan dalam jabatan.
d.      Pemerasan dalam jabatan.
e.       Tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan.
f.       Delik gratifikasi.
Kemudian keenam bentuk-bentuk korupsi tersebut dijelaskan masing-masing pengertian perbuatannya oleh Puspito & Tim Penyusun (2011: 25-27) seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini. Berikut adalah penjelasan dari masin-masing bentuk korupsi.


Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Korupsi
No.
Bentuk Korupsi
Perbuatan Korupsi
1
Kerugian Keuangan Negara
a.       Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
b.      Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.
2
Suap Menyuap
a.       Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya.
b.      Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara.
c.       Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara.
d.      Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memepengaruhi putusan perkara.
3
Penggelapan dalam Jabatan
a.       Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
b.      Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
4
Pemerasan
a.       Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
5
Perbuatan Curang
a.       Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
b.      Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
6
Gratifikasi
a.       Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.
Sumber: Puspito & Tim Penyusun (2011: 25-27)
2.2 Faktor-faktor Penyebab Korupsi
Menurut Wahyudi & Sopanah (2010) korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yaitu:
a.       Sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan.
b.      Belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
c.       Tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi.
Lebih lanjut lagi, penyebab terjadinya korupsi dibagi dalam tiga aspek. Pertama, aspek prilaku individu organisasi. Kedua, aspek organisasi. Ketiga, aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Sedangkan Syam (2000) menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengidentifikasi empat faktor penyebab korupsi (dikutip dalam Puspito & Tim Penyusun: 41-45). Berikut adalah keempat faktor penyebab korupsi dan penjelasannya.
a.       Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Korupsi politik misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang. Formula proses terjadinya korupsi adalah M+D–A=C. M adalah monopoly, D adalah discretionary, dan A adalah accountability. Maka, dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.
b.      Faktor Hukum
Faktor hukum bisa dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tindakan korupsi mudah timbul karena kelemahan dalam peraturan perundang-undangan, yang mencakup: (1) adanya peraturan UU yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu, (2) kualitas peraturan UU kurang memadai, (3) peraturan kurang disosialisasikan, (4) sanksi yang terlalu ringan, (5) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (6) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan UU. Sedangkan lemahnya penegakan hukum disebabkan oleh tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Serta praktek politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan di bidang ekonomi dan bisnis.
c.       Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain rendahnya gaji pegawai, salah satu aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya.
d.      Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Bila organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (1) kurang adanya teladan dari pimpinan, (2) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (3) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (4) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Selanjutnya Puspito & Tim Penyusun (2011: 47-49) merumuskan beberapa aspek penyebab korupsi yang terbagi dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Berikut adalah faktor internal yang merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, dapat dirinci sebagai berikut:
a.       Aspek Perilaku Individu
Aspek ini ditandai dengan perilaku individu yang memiliki sifat tamak/rakus, moral yang kurang kuat, dan gaya hidup yang konsumtif.
b.      Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi.
Kemudian faktor eksternal yang merupakan pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku adalah:
a.       Aspek Sikap Masyarakat Terhadap Korupsi
Sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri, masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi, dan Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan.
b.      Aspek Ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
c.       Aspek Politis
Instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat berpotensi menyebabkan perilaku korupsi.
d.      Aspek Organisasi
Penyebab korupsi yang termasuk dalam aspek organisasi adalah kurang adanya sikap keteladanan pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, kelemahan sistim pengendalian manajemen, dan lemahnya pengawasan.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai faktor-faktor penyebab korupsi, maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa penyebab utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu tersebut memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan konsumtif.
Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti kesempatan yang timbul dari lingkungan atau organisasi yang cenderung mendukung terjadinya korupsi. Selanjutnya kesempatan yang timbul dari aspek politik, yaitu dengan adanya kecurangan untuk melakukan politik uang dengan tujuan tertentu. Aspek hukum juga bisa mendukung terjadinya korupsi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa lemahnya peraturan perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum dapat memberikan kesempatan bagi para pelaku korupsi. Berikutnya yaitu aspek ekonomi, meskipun rendahnya tingkat gaji bukan alasan mutlak seseorang melakukan korupsi, namun dalam keadaan tertentu hal tersebut mungkin terjadi. Dikatakan bukan merupakan faktor mutlak karena selama ini banyak sekali ditemukan para pelaku korupsi yang telah memiliki jumlah kekayaan melimpah, tapi tetap melakukan korupsi.
2.3 Pemberian Pendidikan Antikorupsi Bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan salah satu pilar penting dalam membangun bangsa. Potensi dan energi yang dimiliki oleh generasi muda (mahasiswa) menjadi sebuah keistimewaan tersendiri dibanding kaum lainnya. Sebagai pewaris syah negeri ini mahasiswa memiliki kewajiban untuk turut andil dalam setiap upaya perbaikan bangsa. Dalam perjuangan kaum muda mahasiswa senantiasa berada di garda terdepan. Akan tetapi mahasiswa yang terlibat aktif dan ikut turun kejalan dalam usaha pemberantasan korupsi masih belum representatif. Seharusnya ini menjadi sebuah catatan penting bagi semua, karena begitu pentingnya peranan mahasiswa sebagai generasi pelanjut. Mahasiswa memiliki potensi positif dan negatif. Positifnya mahasiswa bisa menjadi aktor pemberantasan korupsi tapi negatifnya mahasiswa bisa saja menjadi pelaku korupsi dimasa datang.
Menurut Qalbi (2011), berkaca dari usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, mahasiswa terkesan dipinggirkan dan dipandang sebelah mata. Padahal sekali lagi mahasiswa adalah pewaris syah negeri ini mereka menjadi salah satu pilar bahkan penentu keberlangsungan bangsa dimasa mendatang. Pertama, mahasiswa adalah golongan yang dipersiapkan untuk mengisi lapisan kekuasaan. Kedua, kebanyakan struktur ekonomi akan diisi oleh mahasiswa. Ketiga, mahasiswa adalah golongan terdidik dan sebagian dipersiapkan untuk menjadi pendidik.
Begitu besarnya peranan mahasiswa dimasa mendatang seharusnya menjadi perhatian khusus oleh pemerintah terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Usaha pemberantasan korupsi melalui perbaikan dan penguatan peran para penegak hukum serta reformasi sistem pemerintahan harusnya juga diiringi dengan usaha pencegahan. Mahasiswa memiliki potensi besar untuk melakukan korupsi sekaligus meberantas korupsi dimasa mendatang. Oleh karena itu pemberdayaan mahasiswa dalam hal pemberantasan korupsi adalah kunci tindakan preventif (pencegahan) yang harus dilakukan.
Salah satu poin penting yang harus dilakukan pemerintah dalam hal tindakan preventif (pencegahan) serta pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan Pendidikan Antikorupsi untuk merevitalisai atau membangun kembali kebanggaan terhadap budaya anti korupsi serta moralitas mahasiswa. Suram sekali kelihatannya nasib bangsa dikemudian hari bila pemuda hanya menjadi orang yang bebas dari sekedar buta huruf. Ungkapan tersebut diartikan bahwa, pendidikan tidak hanya sebatas menjadikan generasi muda (mahasiswa) melek huruf. Tapi, lebih dari itu berperan dalam enlighten (mencerahkan), mencerdaskan, dan membuka pola pikir mahasiswa. Perguruan tinggi sebagai tempat mahasiswa hidup dan belajar seharusnya disertakan didalamnya mengenai pemberantasan korupsi berupa mata kuliah wajib agar tertanam semangat pemberantasan korupsi.
Lebih lanjut lagi, Puspito & Tim Penyusun (2011: 145-150) mengatakan bahwa dengan adanya Pendidikan Antikorupsi, maka mahasiswa akan memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi. Dengan kompetensi yang dimiliki tersebut, mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak hukum. Dengan demikian maka mahasiswa dapat terlibat secara utuh dalam gerakan antikorupsi.
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional.
a.       Lingkungan Keluarga
Internalisasi karakter anti korupsi di dalam diri mahasiswa dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Kegiatan tersebut dapat berupa melakukan pengamatan terhadap perilaku keseharian anggota keluarga. Misalnya, apakah dalam mengendarai kendaraan bermotor bersama anggota keluarga, peraturan lalu lintas dipatuhi? Apakah tidak menjalankan motornya di atas pedestrian dan mengambil hak pejalan kaki? Apakah penghasilan orang tua tidak berasal dari tindak korupsi? Apakah orang tua tidak menyalahgunakan fasilitas kantor yang menjadi haknya? Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya bermula dari lingkungan keluarga dan pada kenyataannya nilai-nilai tersebut akan terbawa selama hidupnya. Jadi, ketika seorang mahasiswa berhasil memilah nilai-nilai yang ditanamkan orang tuanya dengan hanya mengambil nilai-nilai positif, maka dapat diharapkan ketika terjun ke masyarakat mahasiswa tersebut akan selamat melewati berbagai rintangan yang mengarah kepada tindak korupsi. Jika Pendidikan Antikorupsi diikuti oleh banyak Perguruan Tinggi, maka akan diperoleh cukup banyak generasi muda yang dapat menjadi benteng anti korupsi di Indonesia.
b.      Lingkungan Kampus
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan kampus dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu untuk individu mahasiswanya sendiri, dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks individu, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks komunitas, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar rekan-rekannya sesama mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan di kampus tidak berperilaku koruptif dan tidak korupsi. Agar seorang mahasiswa dapat berperan dengan baik dalam gerakan anti-korupsi maka pertama-pertama mahasiswa tersebut harus mempunyai nilai-nilai anti-korupsi dan memahami korupsi serta prinsip-prinsip anti-korupsi. Kedua hal ini dapat diperoleh salah satunya dari kuliah pendidikan antikorupsi.
c.       Lingkungan Masyarakat Sekitar
Hal yang sama dapat dilakukan oleh mahasiswa atau kelompok mahasiswa untuk mengamati lingkungan di lingkungan masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah, apakah kantor-kantor pemerintah menjalankan fungsi pelayanan, seperti pembuatan KTP untuk masyarakatnya dengan sewajarnya? Bayangkan berapa jumlah rupiah yang bisa diselamatkan, apabila ada 25 juta orang yang mengurus KTP dalam 1 tahun, dan setiap orang mengeluarkan “uang sogokan” sebesar Rp.5.000. Maka dalam tahun tersebut akan terkumpul uang sebesar Rp.125.000.000.000. Dengan uang sebesar itu berapa anak sekolah yang bisa dibiayai, berapa orang sakit yang bisa berobat, berapa kilometer ruas jalan yang bisa dibangun, berapa jembatan yang bisa dibangun, berapa gedung sekolah yang bisa didirikan? Jumlah tersebut tentunya akan memberikan manfaat yang lebih baik bagi masyarakat, apabila gerakan antikorupsi terus dibudayakan.

d.      Lingkungan Nasional
Dalam konteks nasional, keterlibatan seorang mahasiswa dalam gerakan antikorupsi bertujuan agar dapat mencegah terjadinya perilaku koruptif dan tindak korupsi yang masif dan sistematis di masyarakat. Mahasiswa dengan kompetensi yang dimilikinya dapat menjadi pemimpin (leader) dalam gerakan massa anti korupsi baik yang bersifat lokal maupun nasional. Berawal dari kegiatan-kegiatan yang terorganisir dari dalam kampus, mahasiswa dapat menyebarkan perilaku anti korupsi kepada masyarakat luas, dimulai dari masyarakat yang berada di sekitar kampus kemudian akan meluas ke lingkup yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan anti korupsi yang dirancang dan dilaksanakan secara bersama dan berkesinambungan oleh mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi akan mampu membangunkan kesadaran masyarakat akan buruknya korupsi yang terjadi di suatu negara.
2.4 Model Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi
Korupsi telah mewabah hampir pada seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kejahatan luar biasa ini memerlukan upaya yang luar biasa untuk memberantasnya. Salah satu upaya untuk memberantasnya adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa sebagai pewaris masa depan (Dikti, 2012). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemdikbud) telah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelenggarakan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia.
Dikti memberikan wewenang bagi pengelola Perguruan Tinggi untuk menjadikan Pendidikan Antikorupsi sebagai pelajaran sisipan, mata kuliah pilihan ataupun wajib. Bahkan Dalam rangka persiapan pembelajaran pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi, Dikti dan KPK telah melaksanakan kegiatan Training of Trainers (TOT) Pendidikan Antikorupsi Tahun 2012, bagi 1007 Dosen di 526 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Kemudian diharapkan 526 Perguruan Tinggi tersebut, yang terdiri dari 92 Perguruan Tinggi Negeri dan 434 Perguruan Tinggi Swasta, menyelenggarakan Pendidikan Anti Korupsi mulai Tahun Akademik Baru 2012/2013.

Puspito & Tim Penyusun (2011: 5-16) menjelaskan bahwa, matakuliah Pendidikan Antikorupsi lebih menekankan pada pembangunan karakter anti-korupsi (anti-corruption character building) pada diri individu mahasiswa. Tujuan dari matakuliah Pendidikan Antikorupsi adalah membentuk kepribadian anti-korupsi pada diri pribadi mahasiswa serta membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman korupsi. Dengan menyesuaikan tingkat peserta didik yaitu mahasiswa tingkat sarjana (S1), maka kompetensi yang ingin dicapai adalah:
a.       Mahasiswa mampu mencegah dirinya sendiri agar tidak melakukan tindak korupsi (individual competence).
b.      Mahasiswa mampu mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak korupsi dengan cara memberikan peringatan orang tersebut.
c.       Mahasiswa mampu mendeteksi adanya tindak korupsi (dan melaporkannya kepada penegak hukum).
Adapun konsep dari matakuliah Pendidikan Antikorupsi terdiri dari enam hal sebagai berikut ini,
a.       Internalisasi Pembelajaran Integritas
Internalisasi nilai-nilai integritas dalam sistem pembelajaran harus memperhatikan empat hal yaitu: (1) pengertian atau pemahaman terhadap karakter integritas, (2) perasaan integritas, (3) tindakan integritas, dan (4) internalisasi nilai-nila keimanan, etika, serta moral.
b.      Intensi Perilaku Antikorupsi
Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari potensi perilaku disebut dengan intensi. Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, dimana ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu. Dengan demikian, perilaku korupsi/antikorupsi yang dimunculkan oleh individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/anti-korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik. Metode matakuliah anti-korupsi hendaknya memberikan sinergi yang seimbang antara ketiga komponen tersebut, sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk memperkuat potensi perilaku anti-korupsi mahasiswa. Pada dasarnya potensi anti-korupsi ada pada diri setiap individu mahasiswa, dan adalah tugas dosen untuk memperkuatnya.
c.       Konsep Teori Planned Behaviour
Terdapat 3 (tiga) komponen utama pembentuk intensi perilaku yaitu:
1.      Attitude Toward Behavior yang dipengaruhi oleh behavioral belief, yaitu evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu.
2.      Normative belief yang dipengaruhi oleh subjective norms di sekeliling individu yang mengharapkan si individu sebaiknya berperilaku tertentu atau tidak.
3.      Control belief yang dipengaruhi oleh perceived behavior control, yaitu acuan kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku.
Matakuliah Antikorupsi berfungsi untuk mempengaruhi ketiga komponen (behavioral beliefs, normative beliefs, control beliefs) tersebut secara kuat sehingga dapat menyumbang pada pembentukan attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control mahasiswa, yang selanjutnya dinamika ketiganya akan menentukan tingkat kekuatan intensi perilaku antikorupsi mahasiswa.
d.      Konsep Pembelajaran Berpusat Pada Siswa (Student Centered Learning)
SCL merupakan orientasi baru pendidikan yang dianggap lebih tepat dalam membentuk kompetensi utuh siswa. Konsep SCL adalah sebagai berikut:
1.      Pembelajaran merupakan proses aktif mahasiswa yang mengembangkan potensi dirinya.
2.      Pengalaman aktif mahasiswa harus bersumber/relevan realitas sosial, masalah-masalah yang berkaitan profesi, berkaitan masalah-masalah sosial seperti pelayanan umum, dll.
3.      Di dalam proses pengalaman ini mahasiswa memperoleh inspirasi dan termotivasi untuk bebas berprakarsa, kreatif dan mandiri.
4.      Pengalaman proses pembelajaran merupakan aktifitas mengingat, menyimpan dan memproduksi informasi, gagasan-gagasan yang memperkaya kemampuan dan karakter mahasiswa.
Perubahan paradigma dalam pembelajaran sehingga mahasiswa dapat menangkap pembelajaran Pendidikan Antikorupsi dengan baik.
e.       Metodologi Pengajaran
Terdapat piramida metodologi pengajaran yang terdiri dari lecture (5%), reading (10%), audio visual (20%), demonstration (30%), discussion group (50%), practice by doing (75%), dan teach other (90%). Dalam Pendidikan Antikorupsi, metode pengajaran harus dirancang secara komprehensif dan proporsional sesuai persentase efektivitas yang akan dicapai. Dosen akhirnya lebih banyak berperan sebagai fasilitator, bukan semata penceramah.
f.        Participatory Learning Method
Matakuliah Pendidikan Antikorupsi jangan sampai terjebak pada semata-mata sebuah pembelajaran di kelas dengan cara konservatif yang berpusat pada dosen dan penyampaian nilai-nilai dan konsep-konsep teoritis yang membosankan. Metode pembelajaran partisipatoris merupakan salah satu metode yang cukup tepat untuk mengatasi potensi masalah tersebut. Di bawah ini akan diuraikan aspek-aspek penting terkait bagaimana mengajar (teaching) dan belajar (learning) dapat berlangsung secara efektif dengan partisipasi akti para mahasiswa, yang disesuaikan dengan keperluan matakuliah antikorupsi.
Tabel 2.2 Perbedaan Metode Pengajaran dan Pembelajaran
No
Pengajaran (Teaching)
Pembelajaran (Learning)
1.
Berpusat pada guru
Berpusat pada siswa
2.
Dosen dominan dalam aktor kelas
Dosen sebagai fasilitator
3.
Suasana "tertib", tenang, kaku,
membosankan
Suasana "hidup", menyenangkan dan interaktif
4.
Mahasiswa terlibat dalam kompetisi dengan mahasiswa lain, dengan motivasi mengalahkan teman
Mahasiswa didorong bekerjasama dalam mencapai tujuan. Tolong-menolong dalam memecahkan masalah dan bertukar pikiran
5.
Mahasiswa adalah tempat dosen mencurahkan pengetahuan. Prestasi- nya adalah sejumlah hapalan/ reproduksi/ pengetahuan
Mahasiswa adalah pelaku proses pengalaman mengambil keputusan, memecahkan masalah, menganalisis dan mengevaluasi. Kegiatan   memproduksi pengetahuan
6.
Evaluasi oleh dosen bersifat menyeleksi dan meranking kuantitas hapalan
Evaluasi oleh mahasiswa berupa refleksi dan berperan memperbaiki proses untuk meningkatkan prestasi
7.
Sumber belajar dosen dan teks buku
Sumber belajar adalah pengalaman eksplorasi
8.
Tempat belajar sebatas ruang kelas
tempat belajar ‘tidak terbatas ruang kelas tetap seluas jagad raya’
Sumber: Puspito & Tim Penyusun (2011: 9)

Dari apa yang telah dibahas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode yang sesuai untuk matakuliah Pendidikan Antikorupsi adalah metode pembelajaran (learning). Berikut adalah beberapa metode pembelajaran yang bisa diterapkan dalam matakuliah Antikorupsi. Setiap metode pada dasarnya harus memberikan aspek problem-based learning bagi mahasiswa, bahkan membawa pada problem solving terhadap setiap masalah yang dibahas.
a.       In Class Discussion
1.      Tujuan: untuk menumbuhkan kepekaan (awareness) dan membangun kerangka berfikir (framework of thinking).
2.      Kegiatan: penyampaian oleh dosen dan mendiskusikan konsep-konsep terkait korupsi dan anti-korupsi.
b.      Case Study
1.      Tujuan: untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kasus korupsi serta mampu menganalisa atas dasar konsep-konsep yang diberikan.
2.      Kegiatan: mendiskusikan kasus – kasus terkait dengan topik yang sedang dibahas, seperti kasus korupsi, kasus faktor penyebab korupsi, kasus dampak korupsi, kasus gerakan pemberantasan korupsi di negara lain, dsb.
c.       Improvement System Scenario
1.      Tujuan: Memberikan rangsangan kepada mahasiswa agar memikirkan penyelesaian masalah secara nyata (problem solving).
2.      Kegiatan: dosen memberikan satu bahan diskusi untuk didiskusikan oleh kelompok mahasiswa. Mahasiswa diharapkan membuat skema perbaikan sistem yang bisa menyelesaikan masalah korupsi yang selalu terjadi pada kasus tersebut.
d.      General Lecture
1.      Tujuan: untuk belajar dari praktisi atau orang-orang di lapangan yang mampu menginspirasi dan dapat menjadi role model bagi mahasiswa.
2.      Kegiatan: menghadirkan seorang pembicara tamu untuk berbagi pengalaman dan kita dalam memberantas dan mencegah korupsi di dunia kerjanya.


e.       Diskusi Film
  1. Tujuan: menggunakan media film sebagai media pembelajaran melalui kekuatan audiovisual.
  2. Kegiatan: memutar film dokumenter korupsi atau anti-korupsi, kemudian mendiskusikan dengan mahasiswa.
f.       Investigative Report
1.      Tujuan: mahasiswa memiliki kompetensi untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah tindak korupsi yang nyata terjadi di lingkungan sekitar atau daerah setempat, serta membuat laporan korupsi yang efektif dan impactful.
2.      Kegiatan: merupakan investigasi lapangan yang dilakukan dalam kurun beberapa minggu. Kelompok mahasiswa menentukan tindak korupsi dan lokasinya, melakukan investigasi dengan teknik yang benar, menyusun laporan berisi kasus, data dan analisis konseptual, dan mempresentasikannya di kelas. Mahasiswa dapat menggunakan kamera, video dan recorder untuk mengumpulkan data dan informasi sebagai bukti valid.
g.      Thematic Exploration
1.      Tujuan: membangun cara berfikir (way of thinking) yang komprehensif dalam menggali sebuah kasus.
2.      Kegiatan: mahasiswa melakukan observasi terhadap sebuah kasus korupsi atau perilaku koruptif, kemudian menganalisis dari berbagai perspektif sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik dan sebagainya. Mahasiswa juga bisa melakukan observasi perbandingan perspektif atau cara penyelesaian terhadap satu jenis kasus yang serupa dari masyarakat atau negara yang berbeda.
h.      Prototype
1.      Tujuan: penerapan keilmuan atau ciri khas perguruan tinggi terkait atau ciri khas lokal dalam konteks anti-korupsi; atau mengeksplorasi korupsi dan anti-korupsi.
2.      Kegiatan: mahasiswa membuat prototype teknologi terkait cara-cara penang-gulangan korupsi.
i.        Prove The Government Policy
1.      Tujuan: memantau realisasi janji pemerintah sebagai bentuk integritas.
2.      Kegiatan: kelompok mahasiswa melakukan pengamatan, penelitian ke lapangan untuk melihat kesesuaian janji pemerintah yang disosialisasikan melalui kampanye/spanduk/iklan/pengumuman prosedur di berbagai instansi dengan realisasi di lapangan.
j.        Education Tools
1.      Tujuan: menciptakan media pembelajaran yang kreatif untuk segmen pendidikan formal maupun publik dalam rangka gerakan antikorupsi.
2.      Kegiatan: kelompok mahasiswa mewujudkan kreatifitasnya dalam mendesain berbagai macam produk yang bisa menjadi media pembelajaran antikorupsi.

BAB III
KESIMPULAN

A.    Korupsi adalah perbuatan yang busuk, tidak jujur, dan amoral. Korupsi adalah suatu perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kelompok dengan cara yang menyimpang dan illegal, dimana perilaku tersebut merugikan negara atau pemerintah atau rakyat atau sebuah instansi. Korupsi dipandang haram dalam agama Islam, dan korupsi juga merupakan hal yang melanggar hukum, dimana para pelaku korupsi harus dikenakan hukuman pidana sesuai peraturan dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999. Terdapat 6 (enam) bentuk korupsi, yaitu: memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi, menyalahgunakan kewenangan jabatan, suap-menyuap, pemerasan, perbuatan curang, dan gratifikasi.
B.     Penyebab utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu tersebut memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan konsumtif. Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti aspek lingkungan, politik, hukum, ekonomi, dll.
C.     Sebagai pewaris syah negeri ini mahasiswa memiliki kewajiban untuk turut andil dalam setiap upaya perbaikan bangsa. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam memberantas korupsi, sebab mahasiswa adalah golongan yang dipersiapkan untuk mengisi lapisan kekuasaan, kebanyakan struktur ekonomi akan diisi oleh mahasiswa, dan mahasiswa adalah golongan terdidik dan sebagian dipersiapkan untuk menjadi pendidik. Mahasiswa memiliki potensi besar untuk melakukan korupsi sekaligus meberantas korupsi dimasa mendatang. Oleh karena itu pemberdayaan mahasiswa dalam hal pemberantasan korupsi adalah kunci tindakan preventif (pencegahan) yang harus dilakukan. Salah satu poin penting yang harus dilakukan pemerintah dalam hal tindakan preventif (pencegahan) serta pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan Pendidikan Antikorupsi untuk merevitalisai atau membangun kembali kebanggaan terhadap budaya anti korupsi serta moralitas mahasiswa. Dengan adanya Pendidikan Antikorupsi, maka mahasiswa akan memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional.
D.    Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikti Kemdikbud) telah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelenggarakan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Tujuan dari matakuliah Pendidikan Antikorupsi adalah membentuk kepribadian anti-korupsi pada diri pribadi mahasiswa serta membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman korupsi. Terdapat 6 (enam) konsep dalam matakuliah Pendidikan Antikorupsi, yaitu: Internalisasi Pembelajaran Integritas, Intensi Perilaku Antikorupsi, Konsep Teori Planned Behaviour, Konsep Pembelajaran Berpusat Pada Siswa, Metodologi Pengajaran, dan Participatory Learning Method. Adapun beberapa metode dalam pembelajaran Pendidikan Antikorupsi adalah sbb: In Class Discussion, Case Study, Improvement System Scenario, General Lecture, Diskusi Film, Investigative Report, Thematic Exploration, Prototype, Prove The Government Policy, dan Education Tools.

DAFTAR RUJUKAN

Achmad, Y. 2012. Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya. (Online), (http://www.wasathon.com), diakses 12 Oktober 2012.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2012. Pendidikan Anti Korupsi. (Online), (http://www.dikti.go.id), diakses 12 Oktober 2012.

Hikmawan, R. 2007. Strategi Pemberantasan Korupsi Melalui Sisdiknas: Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pendekatan Preventif Partisipatif. (Online), (http://pelajarislam.wordpress.com), diakses 12 Oktober 2012.

Kejaksaan Republik Indonesia. 2009. Tindakan Preventif dan Represif dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Online), (http://www.kejaksaan.go.id), diakses 12 Oktober 2012.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Ketentuan Pengaduan Masyarakat. (Online), (http://www.kpk.go.id), diakses 28 Oktober 2012.

Nagara, G. 2012. Pencegahan Korupsi. (Online), (http://grahatnagara.wordpress.com), diakses 12 Oktober 2012.

Pratiwi, I. 2011. Upaya Prefentif dan Rehabilitatif Tindak Korupsi Lembaga Pemerintahan Indonesia. (Online), (http://blog.student.uny.ac.id), diakses 12 Oktober 2012.

Puspito, N & Tim Penyusun. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.

Qalbi, A. 2011. Mahasiswa dan Tindakan Preventif (Pencegahan) Korupsi: Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia. (Online), (http://www.scribd.com), diakses 12 Oktober 2012.

Sinaga, K. 2003. Sanksi Sosial Bagi Koruptor: Sebuah Keharusan. (Online), (http://www.antikorupsi.org), diakses 12 Oktober 2012.

Syam, N. 2000. Penyebab Korupsi. (Online), (http://www.nursyam.sunan-ampel.ac.id), diakses 28 Oktober 2012.

Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi. (Online), (http://www.kpk.go.id), diakses 10 Oktober 2012.

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.

Wahyudi, I & Sopanah. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Malang Raya. (Online), (http://www.ejournal.umm.ac.id), diakses 28 Oktober 2012.