Minggu, 18 Maret 2012

MANAJEMEN EKSPOR DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Menurut Rachbini (2004: 39) perdebatan tentang strategi industri berlangsung cukup intensif dan mendalam, terutama pertentangan antara strategi substitusi impor dengan strategi promosi ekspor. Hal ini wajar karena pilihan strategis industri dan perdagangan merupakan taruhan setiap pemerintah yang berkuasa.
Strategi substitusi impor menjadi arus pemikiran tersendiri, yang diyakini banyak kalangan intelektual dan teknokrat terutama di Amerika Latin. Gagasan dasar dari strategi ini cukup rasional karena berdasarkan pada fakta-fakta empiris yang actual. Tetapi dalam pelaksanaannya di kawasan Amerika Latin strategi substitusi impor tidak memperlihatkan hasil yang cukup memadai sehingga semakin ditinggalkan banyak orang. Namun, pikiran-pikiran yang mendasari perlunya strategi substitusi impor bias diadopsi secara proporsioanl untuk melindungi industri dalam negeri secara khusus.
Sedangkan strategi promosi “outward looking” datang kemudian dengan alas an untuk akselerasi pertumbuhan Negara industri baru dengan penetrasi pasar internasional melalui kegiatan ekspor. Strategi industri ini sudah dilaksanakan di berbagai negara dan hasilnya cukup menjanjikan karena telah sukses mengantarkan banyak negara berkembang menjadi negara industri.
Basri (2002: 291) mengatakan pengutamaan ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983. Sejak saat itu, ekspor menjadi perhatian dalam memacu pertumbuhan ekonomi seiring dengan berubahnya strategi industrialisasi dari penekanan pada industri substitusi impor ke industri promosi ekspor. Ekspor memiliki peran yang penting dalam waktu-waktu mendatang, apalagi dengan digulirkannya perundingan-perundingan WTO menuju perdagangan dunia tanpa hambatan. Konsumen dalam negeri membeli barang impor atau konsumen luar negeri membeli barang domestic, menjadi sesuatu yang sangan lazim. Persaingan sangat tajam antar berbagai produk. Selain harga, kualitas atau mutu barang menjadi factor penentu daya saing suatu produk.
Ketika krisis terus berkecamuk, sehingga menimbulkan guncangan-guncangan social dan politik yang tidak henti-hentinya, perekonomian Indonesia masih dikaruniai keberuntungan jika ditinjau dari pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun 2000 terhadap triwulan yang sama tahun sebelumnya yang bisa tumbuh sebesar 4,1%. Salah satu katup penyelamat krisis ekonomi yang berlangsung adalah kinerja ekspor di tengah lesunya permintaan domestic swasta karena penurunan pengeluaran invesatasi, konsumsi masyarakat karena turunnya daya beli, dan pengeluaran pemerintah karena harus mengalokasika dana yang sangat besar untuk subsidi BBM serta membayar cicilan utang dan bunganya.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Apa  saja ruang lingkup ekspor secara umum?
2.      Bagaimana strategi untuk meningkatkan ekspor?
3.      Bagaimana pengembangan ekspor di negara sedang berkembang?

1.3  Tujuan Pembahasan
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui ruang lingkup ekspor secara umum.
2.      Untuk mengetahui strategi peningkatan ekspor.
3.      Untuk mengetahui pengembangan ekspor di Negara sedang berkembang.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ruang Lingkup Ekspor
Ashjar & Amirullah (2002: 1-12) menjelaskan bahwa ekspor adalah perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam luar wilayah pabean suatu negara dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.

2.1.1   Ketentuan Ekspor
a.       Eksportir memiliki surat izin usaha perdangan.
b.      Eksportir wajib mengetahui barang yang dilarang diekspor oleh pemerintah/harus seizin pemerintah.
c.       Eksportir harus mengetahui ekspor barang ke suatu negara yang dilarang oleh pemerintah.

2.1.2   Risiko-risiko Eksportir
a.       Risiko pengangkutan
1.      Pengangkutan barang menggunakan kapal laut/pesawat udara.
2.      Lamanya waktu pengangkutan, jarak dari suatu negara ke negara lain.
3.      Berpindahtangannya barang dan penyimpanan di gudang, menyebabkan risiko kerusakan dan kehilangan barang.
b.      Risiko kredit atau non payment
Yang diperhatikan disini pada saat pembukaan leter of credit, menuntut dengan syarat pembukaan L/C irrevocable documentary letter of credit. Untuk menghindari risiko ditipu, terlambat dibayar atau tidak dibayar.
c.       Risiko mutu barang
Masing-masing pihak harus berpegang teguh kepada sales kotrak yang telah disepakati bersama, khusus bagi ekspotir dalam pengiriman barang sesuai apa yang diminta pihak impotir.


d.      Risiko nilai tukar
Untuk harga ditetapkan dengan mata uang tertentu, yang idealnya mata uang standar internasional Dollar Amerika (US.$). Biasanya eksportir berusaha untuk melindungi dirinya terhadap nilai tukar ini dengan cara membeli valuta asing dengan penyerahan kemudian (option contract) yang dikenal dengan istilah Hedging/swap.
e.       Risiko hukum
Peraturan dan hukum di negara asing yang tertentu sulit kita ketahui, yang mungkin saja merugikan pihak eksportir, dan jika ada problem dalam transaksi dagang tentunya harus ada perwasitan internasional (international commercial arbitration) seperti yang diatur oleh pengadilan arbitrase internasional dari kamar dagang internasional.
f.       Risiko bonafiditas
Umumnya eksportir tidak mengetahui secara pasti atau mengukur tingkat kemampuan eksportir/buyer. Dan untuk mencegah risiko jika terjadi wan prestasi dikemudian hari, dapat dilakukan dengan tindakan preventif sebagai berikut:
1.    Minta bantuan/referensi dari bank, atas perdagangan RI di KBRI.
2.    Membuat kontrak dagang ekspor yang rapi, teliti, dan membuat ketentuan hukum, yang menyangkut keamanan pembayaran dan mutu barang.
3.    Mempergunakan syarat perdagangan sesuai Incoterm-1990 secara tepat.
4.    Dalam kontrak dagang membuat ketentuan tentang penalty serta proses penyelesaian sengketa.

2.1.3   Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Ekspor
a.       Kepercayaan
b.      Belum kenalnya antara penjual dan pembeli
c.       Pemasaran
d.      Sistem kuota dan kondisi hubungan pelanggan dengan negara lain
e.       Keterikatan dalam anggota organisasi internasional
f.       Kurang pemahaman akan akan tersedianya kemudahan-kemudahan internasional
g.      Bahasa antar negara
h.      Kemampuan dan pemahaman transaksi luar negeri
i.        Pembiayaan komoditi ekspor
j.        Standarisasi barang ekspor
k.      Hubungan bilateral antara kedua Negara yang bertransaksi

2.1.4   Lembaga yang Terkait Dengan Ekspor
a.    Bank Indonesia
Tugas dan perananya:
1.    Mengatur ketentuan dan peraturan jual beli devisa.
2.    Menetapkan kurs jual/devisa dan mata uang asing.
3.    Menerima atas penjualan devisa hasil ekspor dari  bank yang menegosiasi wesel ekspor.
4.    Wesel berjangka atau tagihan berjangka lainnya yang dijual mempunyai waktu yang sekurang-kurangnya 15 hari dan selama-lamanya 260 hari.
5.    Menetapkan dan memberi izin kepada bank sebagai bank devisa yang dapat melaksanakan transaksi perdangan internasional.
b.    Bank Devisa
Tugas dan perananya:
1.    Sebagai advising bank maupun negotiating bank, menerima LC dari bank di luar negeri setelah diteliti keabsahannya, LC tersebut dicatat  diregristrasi kemudian membebankan biaya penerusan LC.
2.    Memriksa kelengkapan dokumen serta menagih ke opening bank di luar negeri untuk penyelesaian pembayarannya.
3.    Dapat memeberikan fasilitas kredit ekspor.
c.    Kantor Perdangan dan Industri
Tugas dan perananya:
1.    Lembaga pemerintahan yang memberikan izin usaha dagang dan perizinan pengiriman barang keluar negeri.
2.    Membuat ketentuan negera mana yang boleh dan yang tidak boleh untuk melaksanakan transaksi ekspor langsung ke negara tujuan.
3.    Mengeluarkan sertifikat negara asal barang yang diekspor.
4.    Menetapkan komoditi/barang yang diawasi ekspornya dan harus mendapat persetujuan menteri perdagangan.
5.    Barang yang diekspor yang diterapkan pengawasan mutunya (harus memenuhi standar mutu).
6.    Komoditi/barang yang diatur oleh tata niaganya.
7.    Memberikan kemudahan untuk pelayanan terhadap pengusaha yang ingin meningkatkan hubungan dagang keluar negeri.
8.    Menerbitkan peraturan-peraturan perdagangan luar negeri menyesuaiakan dengan perdangan internasional.
d.   Kantor Bea dan Cukai
Tugas dan perananya:
1.    Mengawasi pemuatan barang dipelabuhan negara pengirim barang.
2.    Mengesahkan atas pemuatan barang sesuai dokumen pada formulir.
3.    Menyediakan formulir untuk kelengkapan dokumen pengapalan.
e.    Maskapai Pelayaran
Tugas dan perananya:
1.    Menerbitkan dokumen surat muat barang (bill of lading) oleh agen maskapai pelayaran atas pemuatan barang yang dikirim oleh kapal yang diageninya.
2.    B/L harus mencantumkan nama perusahaan kapal yang menerbitkan B/L.
f.     Surveyor
Tugas dan perananya:
Mengeluarkan surat sertifikat (certificate of inspection), sebagai juru pemeriksa barang ditunjuk resmi oleh pemerintah.
g.    Perusahaan Asuransi
Tugas dan perananya:
Apabila dicantumkan suatu persyaratan dalam L/C, tertang discover asuransi jika terdapat musibah.
h.    Perusahaan Transportasi
Tugas dan perananya:
Untuk kelancaran pengiriman barang dari gudang ke pelabuhan melalui angkutan darat.
2.1.5   Tahap Transaksi Ekspor
Untuk mengetahui secara kronologis bagaimana sistem, prosedur, dan mekanisme perdagangan internasional, dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Tahap promosi (oleh calon eksportir)
Langkah awal yang dilakukan oleh eksportir adalah menawarkan jenis dan jumlah barang kepada calon pembeli/importir diluar negeri melalui lembaga atau dewan terkait seperti: Dewan Penunjang Ekspor (DPE), Kamar Dagang dan industri Indonesia (Kadin), Badan Pengembangan Eksportir Indonesia (BPEN) dan lain-lain.
b.      Promosi dalam pemasaran ekspor
Promosi memegang peran penting dalam strategi pemasaran ekspor, dalam aspek pemasaran promosi merupakan salah satu unsur dari  strategi bauran pemasaran (marketing mix), unsur-unsurnya yaitu: product (komoditas yang kita hasilkan), price (harga jual yang kita tawarkan), promotion (upaya memperkenalkan produk), place of distribution (wilayah sasaran ekspor), power (bantuan pemerintah dalam mendorong ekspor), dan public support (kekuatan legislative dalam mendorong ekspor).

2.2     Strategi Peningkatan Ekspor

2.2.1   Strategi Menoleh Keluar
Menurut Rachbini (2004: 40-41), strategi menoleh ke luar dinilai sebagai cara yang baik untuk memperkuat mesin pertumbuhan ekonomi. Strategi ini dijalankan dengan instrumen-instumen yang dipusatkan pada kebijakan, program dan kegiatan untuk memacu ekspor barang-barang yang diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian maka diharapkan, sektor luar negeri dari sistem ekonomi nasional menjadi lebih kuat, yang pada gilirannya akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Kesiapan dan kemampuan untuk bersaing antara industry dalam negeri dengan industri negara lain di pasar internasional merupakan syarat pelaksanaan strategi ini. Tujuan dari strategi menoleh keluar adalah untuk mencapai target pertumbuhan ekspor yang pesat agar mampu menghasilkan devisa yang besar, yang mampu memperkuat posisi sector luar negeri dari ekonomi nasional untuk pembiayaan pembangunan, pembayaran impor dan pembayaran utang luar negeri. Strategi ini sendiri dapat diwujudkan dengan menciptakan efisiensi pada setiap kegiatan ekonomi, khususnya sector industry dan perdagangan. Efisiensi tidak hanya diperlukan oleh sector swasta namun juga sektor pemerintah, apabila pelayanan perijinan, bea cukai dan kegiatan pemerintahan lainnya dapat dilakukan dengan efisien, maka kegiatan produksi untuk ekspor dan kegiatan ekspor tidak terhambat.
Hal di atas menandakan bahwa bersamaan dengan efisiensi sektor produksi swasta, maka pemerintah harus melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi secara efektif. Dalam kebijakan tersebut, negara harus melakukan penghapusan berbagai kendala dan hambatan ekspor untuk mencapai tingkat produksi yang efisien dan mampu bersaing dengan negara-negara lain di pasar internasional. Strategi promosi ekspor memerlukan dukungan suasana sosial, budaya dan politik yang kondusif agar proses industrialisasi berjalan baik, sehingga industri-indusrti dalam negeri bisa menghadapi pasar internasional yang sangat bersaing (competitive).

2.2.2   Alasan Strategis
Rachbini (2004: 43-46) menjelaskan beberapa alasan pokok mengapa cukup banyak negara sedang berkembang (NSB) mengimplementasikan kebijakan promosi ekspor sebagai berikut.
Pertama, untuk memperkuat posisi eksternal NSB. Negara dengan ekonomi terbuka dapat meningkatkan ketahanannya dengan melakukan ekspor sebanyak mungkin agar kebutuhan impor di negara tersebur dapat dibiayai dari penghasilan sendiri. Sasaran khusus dari strategi ini adalah untuk menghimpun cadangan devisa yang akan memperkuat ekonomi dan keuangan negara. Selain itu, NSB yang memiliki cadangan devisa besar dapat dengan mudah meredam dampak gejolak perekonomian dan keuangan internasional.
Kedua, untuk memacu akselerasi pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor. Syarat utama agar bisa melakukan penetrasi pasar internasional adalah efisiensi dan mampu bersaing dari segi kualitas dan harga. Strategi promosi ekspor menggiring industry manufaktur di dalam negeri ke arah persaingan pasar internasional, sehingga industry yang dipilih bersifat kompetitif dan memiliki keunggulan komparatif yang jelas. Kalangan swasta dipersilakan untuk mengimpor kebutuhan dalam negeri yang tidak dapat diproduksi oleh industry dalam negeri sehingga harganya lebih murah dibandingkan bila memproduksi barang itu di dalam negeri sendiri.
Peran negara juga diperlukan dalam hal ini, seperti misalnya meningkatkan efisiensi biaya transaksi dengan efisiensi pelayanan (listrik, air, telepon), perbaikan perijinan, dsb. Kepabeanan dan pelabuhan adalah unsur penting yang menjadi sasaran utama agar jalur ekspor dan impor barang berjalan lancar. Selain itu, pemerintah juga harus berperan aktif dalam mencari peluang pasar yang luas di berbagai negara, seperti yang dilakukan oleh Jepang yaitu Japan Incoroporated dimana perwakilan-perwakilan dagang di berbagai negara berperan memberi informasi pasar dan berbagai peluang untuk kalangan swasta.
Ketiga, untuk meningkatkan dinamika ekspor dari komoditas tradisional, yang telah dikembangkan negara yang bersangkutan. Alasannya adalah karena komoditas tersebut telah dikembangkan sejak lama dalam bentuk yang telah terproses sebagai barang jadi. Kemampuan teknologi dan pengolahan komoditas tersebut telah berkembang dalam proses pewarisan dari generasi ke generasi dalam masa yang cukup panjang.
Komoditas ini penting karena erat hubungannya dengan masyarakat luas dan tenaga kerja yang besar jumlahnya. Industri manufaktur dan komoditas tradisional ini biasanya berbasis tenaga kerja yang jumlahnya besar sehingga berperan menjadi penyerap tenaga kerja yang besar pula. Hal tersebut memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada penyerapan tenaga kerja.
Keempat, untuk meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang, industriawan), selain tentunya eksportir sendiri. Kegiatan ekspor banyak memberikan dampak positif, di antaranya adalah peningkatan pendapatan dari produsen hulu komoditas tersebut dan memacu pertumbuhan produksi bahan baku, terutama kegiatan ekspor dari komoditas berbasis sumberdaya lokal. Pasar luar negeri menciptakan pertumbuhan produksi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan pelaku-pelakunya.
Kelima, untuk mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir melalui pencarian pasar yang tidak terbatas di luar negeri. Jika peluang pasar di berbagai negara bervariasi, maka resesi di suatu negara tidak mengancam produsen atau eksportir karena banyak alternatif pasar lebih luas.
Keenam, untuk mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja lewat berbagai kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk ekspor. Komoditas ekspor tradisional maupun komoditas industry manufaktur yang ditujukan untuk ekspor biasanya merupakan industry yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Ketujuh, untuk mensubstitusi barang-barang manufaktur. Jika suatu negara berhasil melaksanakan strategi promosi ekspor, maka secara otomatis dapat mensubstitusikan komoditas impor yang dipasarkan dalam negeri.
Menurut Rachbini (2004: 46) hal pokok yang dapat menghambat NSB untuk menerobos pasar internasional adalah kendala kelembagaan, yang menyebabkan produk yang dihasilkan kurang bisa bersaing di pasar internasional. Kendala kelembagaan ini biasanya diatasi dengan kebijakan ekonomi dalam negeri melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Agar NSB dapat menerobos pasar internasional yaitu dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan manusia yang melimpah untuk mencapai tingkat daya saing yang baik. Pada tahap selanjutnya efisiensi dan daya saing dapat dikejar dengan meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada secara bersamaan.
Menurut Bhagwati dalam Rachbini (2004: 47), strategi promosi ekspor merupakan suatu kebijakan dan program, yang dimaksudkan untuk mengeliminasi bias dan hambatan ekspor. Strategi ini dilaksanakan untuk kegiatan ekspor sebanyak untuk produk domestik. Para pendukung strategi promosi ekspor, NSB yang terlalu lama terkungkung dalam jebakan strategi substitusi impor pada umumnya kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kinerja ekonominya. Strategi substitusi impor dalam kenyataan banyak mengalami kegagalan. Lebih lanjut lagi Rachbini (2004: 48) menjelaskan bahwa, meskipun strategi promosi ekspor dinilai cukup efisien dalam mengalokasikan sumberdaya, tetapi kritikus manilai bahwa tingkat pertumbuhan di banyak negara yang menerapkan strategi ini tidak merata bahkan ada yang tumbuh tidak terlalu tinggi. Kritikus yang lebih keras menilai bahwa negara yang menerapkan strategi promosi ekspor cenderung tergantung ke luar negeri dan pertumbuhan diciptakan karena injeksi utang.

2.2.3   Penyesuaian Struktural
Rachbini (2004: 49) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah dan penampilan ekonomi yang kurang memuaskan dari suatu negara sering terjadi karena kebijakan yang terlalu melihat ke dalam (inward looking). Karena alasan seperti ini banyak NSB melakukan reformasi kebijakan ekonomi yang melihat ke luar (outward looking). Reformasi kebijakan tersebut sering dilakukan dalam berbagai cara, baik melalui subsidi ekspor, pengurangan proteksi, penetapan bunga pada tingkat yang realistis, penyesuaian nilai mata uang, dsb.
Namun yang harus diingat adalah, strategi menoleh ke luar tidak berarti bahwa promosi ekspor lebih tepat dibandingkan strategi substitusi impor. Masalahnya bukan memilih satu di antara dua, tetapi lebih merupakan sebuah penekanan pada satu kebijakan yang dianggap bisa menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi internal.

2.3      Pengembangan Ekspor di Negara Sedang Berkembang

2.3.1   Pengembangan Ekspor Komoditi Primer
Menurut Todaro & Smith (2006: 145-149) banyak NSB berpendapatan rendah yang sampai sekarang masih mengandalkan produk primer sebagai sumber utama pendapatan ekspor mereka. Kecuali minyak dan beberapa bahan mineral penting lainnya, laju pertumbuhan ekspor barang-barang primer senantiasa jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan perdagangan dunia pada umumnya. Selain itu, sumbangan negara-negara berkembang untuk ekspor ini di pasar dunia terus menurun dalam beberapa dasawarsa terakhir. Karena bahan-bahan mentah meliputi 40% dari seluruh ekspor NSB, maka perlu ditelaah lebih jauh faktor-faktor yang telah mempengaruhi tingkat permintaan dan tingkat penawaran atas produk-produk primer dalam perdagangan internasional.
Pada sisi permintaan, setidaknya terdapat lima faktor yang menghambat cepatnya pengembangan produk-produk primer dari NSB, terutama pengembangan ekspor hasil pertanian ke negara-negara maju. Faktor yang pertama adalah elastisitas permintaaan terhadap tingkat pendapatan (dampak perubahan pendapatan terhadap permintaan) untuk bahan-bahan pangan hasil pertanian dan bahan mentah relatif rendah, apalagi jika dibandingkan dengan elastisitas untuk minyak, bahan-bahan mineral tertentu, dan produk-produk manufaktur. Misalnya, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk komoditi gula, teh, coklat, kopi, dan pisang diperkirakan kurang dari satu (artinya, komoditi tersebut kurang dari satu unit), elastisitas permintaasn teradap pendapatan untuk sebagian besar komoditi primer tersebut hanya berkisar antara 0,3-0,6. Permintaan yang inelastis berarti bahwa hanya dengan mempertahankan tingginya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita di negara-negara maju maka NSB dapat meningkatkan ekspor barang-barang tersebut, itu pun dalam tingkat yang ridak terlalu tinggi. Pertumbuhan pendapatan per kapita di negara-negara maju sempat mencapai tingkat yang tinggi pada dekade 1960-an, namun tidak terjadi lagi setelahnya. Meskipun demikian, banyak negara-negara pengekspor barang-barang primer yang diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Cina pada tahun-tahun awal abad keduapuluh satu ini.
Faktor penyebab kedua adalah rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk di negara-negara maju sehingga kenaikan permintaan  bahan pangan yang bisa diharapkan oleh NSB dari faktor ini hanya sedikit. Sedangkan faktor penyebab ketiga adalah elastisitas permintaan sebagian besar komoditi primer terhadap perubahan harga juga relatif rendah. Harga-harga relatif atas produk pertanian terus merosot selama tiga dekade terakhir. Dengan elastisitas yang begitu rendah, maka penurunan harga tersebut langsung dapat diartikan sebagai kemerosotan pendapatan yang sangat tajam bagi NSB. Sebagai contoh, antara bulan Juni 1980 sampai bulan Juni 1982 harga gula merosot sampai 78%, karet alam 37%, dan tembaga 35%. Antara tahun 1989 hinggga tahun 1991, harga-harga komoditi primer pada umumnya anjlok sekitar 20%. Harga timah begitu murah sehingga kegiatan produksinya tidak lagi menguntungkan pihak produsen. Sedangkan harga riil untuk teh dan kopi bahkan lebih rendah daripada tingkat harga yang berlaku pada tahun mana pun semenjak tahun 1950. Kecuali pada pertengahan dekade 1970-an, harga-harga riil komoditi nonminyak merosot hampir 40% antara tahun 1957 hingga tahun 1998. Kemerosotan harga-harga tersebut tentu saja sangat memukul perekonomian NSB, terutama mereka yang tergolong paling miskin. Di lain pihak, harga minyak tidak berada pada posisi yang lebih baik. Harganya mencapai nilai terendah dalam 13 tahun pada tahun 1999 sebelum akhirnya naik lagi hingga mencapai puncaknya dalam 20 tahun terakhir pada tahun 2004.
Keempat, kecuali untuk minyak dan beberapa komoditas, perjanjian komoditas internasional (International Commodity Agreements) tidak berjalan dengan baik. Tujuan utama dari pengadaan perjanjian semacam itu adalah menetapkan tingkat output keseluruhan, menstabilkan harga dunia, dan membagi-bagikan kuota ke berbagai negara yang menghasilkan komoditi tersebut. Agar perjanjian tersebut efektif, maka dibutuhkan kerjasama dan rasa saling pengertian di antara pendukungnya. Perjanjian komoditi seperti ini diharapkan dapat menjadi perisai pelindung yang cukup efektif bagi masing-masing negara pengekspor komoditi untuk melawan persaingan yang terlampau ketat dan dalam menghadapi masalah kelebihan produksi dunia yang sering menjatuhkan harga dan tidak memungkinkan NSB untuk meningkatkan pendapatan ekspor. Singkatnya, perjanjian komoditi tersebut dimaksudkan untuk menciptakan semacam jaminan bagi negara-negara produsen yang ikut berpartisipasi untuk mendapatkan pangsa pendapatan ekspor dunia yang tetap dan harga-harga dunia untuk komoditi mereka yang lebih stabil. Atas dasar inilah maka konferensi keempat United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang diselenggarakan di Nairobi, Kenya pada bulan Mei 1976, mengemukakan pentingnya penyediaan dana bersama (common fund) yang waktu itu diusulkan sebesar US$11 miliar untuk membiayai pengadaan “stok penyangga” (buffer stock) yang ditujukan guna menjaga harga 19 komoditi primer yang dihasilkan oleh berbagai NSB, yang pada akhirnya diharapkan akan dapat menstabilkan pendapatan ekspor mereka. Namun sedikit sekali kemajuan yang tercipta dari usulan UNCTAD tersebut. Pengaturan produksi dan harga timah akhirnya kandas. Sementara itu, stabilisasi harga kopi dan gula dunia tidak pernah terwujud karena upaya-upayanya selama ini diabaikan oleh para produsennya sendiri. Bahkan dengan skenario yang terbaik, perjanjian tersebut tidak efektif untuk diterapkan pada komoditi-komoditi yang cepat membusuk.
Faktor kelima dan keenam yang menyebabkan terhambatnya peningkatan pendapatan ekspor komoditi primer NSB dalam jangka panjang adalah kian pesatnya penemuan dan pengembangan barang-barang substitusi sintetis serta semakin tingginya tembok proteksi bagi impor komoditi pertanian domestik di negara-negara maju. Faktor kelima dan keenam tesebut mungkin merupakan yang paling penting. Barang-barang substitusi sintetis (synthetic substitutes) bagi berbagai macam komoditi primer seperti kapas karet, sisal, rami, kulit dan bahkan tembaga yang jauh lebih murah daripada aslinya itu jelas sangat menghambat terciptanya harga komoditi yang lebih tinggi dan merupakan saingan berat bagi produk asli di pasar ekspor dunia. Angka ekspor dunia dari penjualan barang-barang sintetis meningkat terus, sementara angka ekspor komoditi alamiah justru menurun. Proteksi terhadap produk pertanian di negara-negara maju, entah itu dalam bentuk tarif, kuota, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya seperti higienitas atau syarat-syarat teknis yang berlebihan, jelas semakin menurunkan kinerja ekspor NSB.
Di sisi penawaran, juga terdapat sejumlah faktor yang menghambat perkembangan ekspor komoditi primer NSB. Salah satu di antaranya yang terpenting adalah kekakuan struktural di banyak sistem produksi di pedesaan di negara-negara berkembang seperti tebatasnya sumber daya, iklim yang tidak menguntungkan, tanah yang gersang, struktur kelembagaan, kondisi sosial ekonomi yang kolot, dan pola penguasaan tanah yang tidak produktif dan tidak seimbang. Setinggi apapun tingkat permintaan internasioanl terhadap komoditi primer tertentu (jelas akan berbeda untuk masing-masing komoditi), pengembangan ekspor yang dapat diharapkan NSB akan tetap sangat terbatas apabila struktur-struktur ekonomi dan sosial di daerah perdesaan yang selama ini terbukti menghambat peningkatan penawaran (misalnya, keengganan petani mengambil resiko) tidak diperbaiki secepatnya.
Meskipun demikian, tingkat pertumbuhan barang-barang primer masih rendah, hal ini sebagian disebabkan karena dampak negatif dari kebijakan perdagangan negara-negara maju dan kebijakan-kebijakan bantuan luar negeri yang justu menekan harga pertanian di NSB dan menurunkan insentif berproduksi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan ekspor barang primer tidak dapat dijalankan tanpa adanya reorganisasi struktur-struktur sosial ekonomi yang ditujukan untuk memacu produktifitas pertanian secara keseluruhan dan mendistribusikan manfaatnya secara luas. Tujuan utama setiap strategi pembangunan pedesaan di NSB haruslah untuk mencukupi kebutuhan pangan, memberi nafkah dan memenuhi segala kebutuhan pokok lainnya secara memadai kepada seluruh warga, dan setelah itu barulah kemudian berusaha untuk mengembangkan ekspornya. Setelah melaksanakan tugas-tugas pembangunan yang sangat berat ini, NSB tersebut baru dapat memetik manfaat-manfaat potensial lainnya dari keunggulan komparatif mereka dalam pasar komoditi primer dunia, apabila mereka dapat: (1) bekerja sama secara erat dan terpadu dengan negara-negara berkembang sesama pengekspor komoditi primer lainnya, (2) dibantu oleh negara-negara maju dalam merumuskan dan menyelenggarakan perjanjian komoditi internasional, dan (3) mendapatkan akses yang lebih besar untuk memasuki pasar-pasar negara maju.

2.3.2   Pengembangan Ekspor Produk-produk Manufaktur
Menurut Todaro & Smith (2006: 149-151) perluasan ekspor barang-barang manufaktur dari NSB sangat dipengaruhi oleh imbas keberhasilan ekspor yang spektakuler dari negara-negara industri baru, seperti Korsel, Singapura, Hongkong, Taiwan, Meksiko, China dan Brazil selama empat dasawarsa terakhir. Sebagai contoh, ekspor Taiwan secara keseluruhan meningkat lebih dari 20% per tahun. Sementara itu, ekspor dari negara Korea Selatan bahkan tumbuh lebih cepat lagi. Laju pertumbuhan ekspor kedua negara Asia Timur tersebut bersumber dari peningkatan ekspor produk-produk manufaktur yang memberi kontribusi lebih dari 80% bagi pendapatan devisa negaranya.
Bagi NSB secara keseluruhan, peningkatan ekspor barang-barang manufakturnya cukup mengesankan, dari 6% (dari total ekspornya) pada tahun 1950 menjadi sekitar 64% pada tahun 2000. Jika digabung, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2002 menghasilkan jumlah 25,7% dari total ekspor produk-produk manufaktur dunia; China adalah pemimpin dari tingginya peningkatan output manufaktur dari NSB. Namun, negara-negara berpenghasilan rendah tetap hanya menghasilkan 3,3% dari total output dunia.
Keberhasilan ekspor selama dasawarsa terakhir, khususnya yang dicapai oleh keempat macan asia tersebut, telah mendorong bangkitnya argumen-argumen kaum fundamental yang mengagung-agungkan strategi pembangunan yang berorientasi ke luar dan pengutamaan mekanisme pasar bebas. Aliran pemikiran tersebut banyak dianut oleh para ekonom dan pejabat IMF maupun Bank Dunia. Mereka berkeyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi NSB hanya dapat dicapai secara maksimal melalui mekanisme pasar bebas, penerapan prinsip kebebasan berusaha, keterbukaan ekonomi, dan pembatasan intervensi pemerintah sampai ke taraf yang minimal. Namun sebenarnya keberhasilan negara-negara Asia Timur tersebut bukan disebabkan penentuan tingkat produksi ekspor, melainkan justru disebabkan oleh perencanaan yang cermat dan langsung oleh pemerintahnya.
Keterbatasan peluang peningkatan ekspor oleh NSB, secara umum disebabkan oleh kuatnya proteksi negara-negara maju terhadap ekspor produk manufaktur dari NSB yang semakin lama semakin ketat. Peningkatan tembok proteksi itu sendiri merupakan reaksi langsung negara-negara maju atas keberhasilan Taiwan, Hongkong, dan Korsel pada dekade 1960-an dan 1970-an dalam memasukkan barang-barang manufaktur yang biayanya murah dan padat karya ke negara mereka sehingga menyaingi produk domestiknya.
Hambatan-hambatan perdagangan yang dipasang oleh kalangan negara industri maju itu benar-benar ketat dan menyesakkan. Sebagai contoh, selama dekade 1980-an saja, 20 dari 24 negara industri maju terkemuka menaikkan tingkat proteksinya terhadap barang manufaktur atau produk-produk olahan dari NSB. Kenyataan lain yang lebih menyedihkan adalah bahwa tingkat proteksi yang dikenakan terhadap ekspor NSB itu jauh lebih tinggi daripada yang diberlakukan terhadap ekspor dari sesama negara industri maju. Selain itu masih ada lagi praktek negatif yang sama sekali tidak bisa dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas yakni, tingkat tarif yang semakin tinggi itu diadakan seiring dengan semakin tingginya tingkat pengolahan suatu produk atau komoditi. Selain itu, masih ada lagi hambatan-hambatan nontarif yang kini merupakan bentuk utama proteksi negara-negara maju yang sekurang-kurangnya telah menghambat sepertiga dari total ekspor produk manufaktur dari NSB. Bentuk proteksi yang berpengaruh adalah Perjanjian Perdagangan Tekstil dan Garmen (MFA, Multi-Fiber Arrangement), berlaku sampai tahun 2005, yang merupakan sebuah sistem rumit dan sebagian besar terdiri dari kuota bilateral bagi ekspor NSB seperti kapas, wol, dan produk-produk sintetis. Menurut perkiraan UNDP, MFA telah menimbulkan kerugian sebesar US$24 miliar per tahun bagi NSB yang akibat ketentuan itu tidak bisa memasarkan produk-produk tekstil dan garmennya ke negara-negara maju dengan leluasa.

  

BAB III
KESIMPULAN

A.     Ekspor adalah perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam luar wilayah pabean suatu negara dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor memiliki tiga ketentuan bagi eksportir, yaitu eksportir harus memiliki surat izin usaha perdangan, mengetahui barang yang dilarang di ekspor oleh pemerintah, mengetahui ekspor barang kesuatu negara yang dilarang oleh pemerintah. Seorang eksportir menanggung beberapa risiko yang meliputi risiko pengangkutan, risiko kredit, risiko mutu barang, risiko nilai tukar, risiko hukum, dan risiko bonadifitas. Pelaksanaan ekspor sendiri memiliki beberapa kendala baik dari pihak eksportir (internal) maupun dari pihak eksternal. Terdapat lembaga-lembaga yang terkait dengan ekspor, antara lain Bank Indonesia, Bank Devisa, Kantor Perdagangan dan Industri, Kantor Bea dan Cukai, Maskapai Pelayaran, Surveyor, Perusahaan Asuransi, dan Perusahaan Transportasi. Ekspor memiliki dua tahap, yang pertama yaitu tahap promosi oleh calon eksportir dan tahap kedua yaitu promosi dalam pemasaran ekspor.
B.     Strategi menoleh ke luar dinilai sebagai cara yang baik untuk memperkuat mesin pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan ekspor. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mencapai target pertumbuhan ekspor yang pesat agar mampu menghasilkan devisa yang besar, yang mampu memperkuat posisi sektor luar negeri dari ekonomi nasional untuk pembiayaan pembangunan, pembayaran impor dan pembayaran utang luar negeri. Terdapat beberapa alasan pokok mengenai pengimplementasian strategi menoleh keluar di banyak NSB yaitu, (1) untuk memperkuat posisi eksternal NSB, (2) untuk memacu akselerasi pertumbuhan indistri manufaktur dalam negeri untuk tujuan ekspor, (3) untuk meningkatkan dinamika ekspor dari komoditas tradisional, (4) untuk meningkatkan penerimaan produsen (petani, pedagang, industriawan), selain tentunya eksportir sendiri, (5) untuk mempertinggi tingkat kepastian usaha bagi produsen dan eksportir, (6) untuk mempertinggi tingkat penyerapan tenaga kerja, dan terakhir (7) untuk mensubstitusi barang-barang manufaktur. Sedangkan hal pokok yang dapat menghambat NSB untuk menerobos pasar internasional adalah kendala kelembagaan, yang menyebabkan produk yang dihasilkan kurang bisa bersaing di pasar internasional.
C.     Laju pertumbuhan ekspor barang-barang primer senantiasa jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan perdagangan dunia pada umumnya. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat permintaan dan tingkat penawaran atas produk-produk primer dalam perdagangan internasional. Pada sisi permintaan, terdapat lima faktor yaitu (1) elastisitas permintaaan terhadap tingkat pendapatan untuk bahan-bahan pangan hasil pertanian dan bahan mentah relatif rendah, (2) rendahnya tingkat pertumbuhan penduduk di negara-negara maju sehingga kenaikan permintaan  bahan pangan yang bisa diharapkan oleh NSB dari faktor ini hanya sedikit, (3) elastisitas permintaan sebagian besar komoditi primer terhadap perubahan harga juga relatif rendah, (4) perjanjian komoditas internasional (international commodity agreements) tidak berjalan dengan baik, serta (5) kian pesatnya penemuan dan pengembangan barang-barang substitusi sintetis dan semakin tingginya tembok proteksi bagi impor komoditi pertanian domestik di negara-negara maju. Di sisi penawaran faktor yang menghambat perkembangan ekspor komoditi primer yaitu  kekakuan struktural di banyak sistem produksi di pedesaan di NSB. Bagi NSB secara keseluruhan, peningkatan ekspor barang-barang manufakturnya cukup mengesankan, dari 6% (dari total ekspornya) pada tahun 1950 menjadi sekitar 64% pada tahun 2000. IMF maupun Bank Dunia berkeyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi NSB hanya dapat dicapai secara maksimal melalui mekanisme pasar bebas, penerapan prinsip kebebasan berusaha, keterbukaan ekonomi, dan pembatasan intervensi pemerintah sampai ke taraf yang minimal.


DAFTAR RUJUKAN

Ashjar, D & Amirullah. 2002. Teori dan Praktek Ekspor Impor. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Basri, F. H. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rachbini, D. J. 2004. Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta: Granit.

Todaro, M. P & Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.